

Kita hidup di tengah dunia yang terus bergerak cepat. Teknologi berkembang, informasi datang silih berganti, dan kesibukan seolah tak pernah memberi jeda. Sayangnya, di tengah percepatan hidup ini, kita sering kali terjebak dalam dunia kita sendiri—terlalu fokus pada pekerjaan, target pribadi, dan pencapaian, hingga tanpa sadar kita mulai kehilangan satu hal penting: kepekaan terhadap sekitar.
Kepekaan adalah kemampuan untuk merasakan, memahami, dan merespons keadaan di luar diri kita. Bukan hanya soal empati terhadap orang lain, tetapi juga kepedulian terhadap lingkungan, masyarakat, bahkan hal-hal kecil yang sering kali luput dari perhatian. Dalam kepekaan, ada rasa ingin mengerti sebelum menghakimi. Ada niat untuk hadir, meski hanya dalam bentuk perhatian kecil.
Coba kita perhatikan sejenak. Pernahkah kita benar-benar melihat ekspresi wajah orang-orang di sekitar kita? Apakah kita menyadari jika teman sekantor tampak lebih pendiam dari biasanya? Atau bahwa tetangga kita belakangan jarang terlihat keluar rumah? Banyak hal yang sebenarnya bisa kita tangkap jika kita mau meluangkan sedikit waktu untuk memperhatikan. Sering kali, orang tidak meminta bantuan secara langsung. Mereka hanya butuh seseorang yang peduli, yang bertanya “apa kabar” dengan tulus, yang mendengar tanpa harus memberi solusi.
Lebih peka juga berarti peduli terhadap lingkungan fisik kita. Ketika kita melihat sampah berserakan di jalan, suara bising yang mengganggu tetangga, atau anak-anak yang kehilangan ruang bermain yang layak—semua itu bukan sekadar pemandangan biasa. Itu adalah sinyal bahwa ada yang harus dibenahi, dan kita punya andil di dalamnya. Membiasakan diri untuk tidak hanya melihat, tapi juga memperhatikan, adalah langkah awal menuju perubahan.
Namun, menjadi peka bukan berarti mencampuri segala urusan orang. Kepekaan yang sehat adalah yang datang dari empati, bukan rasa ingin tahu. Kita tidak perlu tahu semua masalah orang, tapi kita bisa menjadi seseorang yang bisa diandalkan ketika mereka butuh. Dalam dunia yang semakin individualistis, kehadiran orang yang peka dan peduli bisa menjadi sangat berharga—ibarat oase di tengah padang tandus.
Tidak semua orang terlahir dengan tingkat kepekaan yang sama. Tapi kabar baiknya, kepekaan bisa dilatih. Kita bisa mulai dengan bertanya lebih banyak daripada menghakimi, dengan mendengar lebih banyak daripada bicara, dan dengan hadir sepenuh hati ketika bersama orang lain. Kepekaan tumbuh seiring kebiasaan kita memperhatikan hal-hal kecil dan menaruh makna pada setiap interaksi.
Karena sejatinya, manusia bukan hanya makhluk individu, tapi makhluk sosial. Kita terhubung, entah melalui hubungan darah, pertemanan, pekerjaan, atau sekadar berbagi ruang hidup. Ketika kita memilih untuk lebih peka, kita sedang membangun jembatan—antara hati kita dan hati orang lain, antara diri kita dan lingkungan sekitar.
Mari kita belajar menjadi lebih peka. Tidak perlu menunggu jadi orang besar atau punya kekuatan besar untuk membawa perubahan. Kadang, dunia hanya butuh satu orang yang mau melihat dan benar-benar peduli. Dan siapa tahu, dengan satu sikap kecil itu, kita bisa membuat perbedaan besar dalam hidup seseorang.(san)
Leave a Review