

Di dunia ini akan selalu ada dua keadaan yang bertolak belakang yaitu bahagia dan susah. Akan tetapi tidak semua orang memiliki pemahaman yang sama tentang arti bahagia dan arti susah. Bagi kebanyakan orang tua jaman dulu bahagia adalah ketika berkumpul dengan anak , cucu bercengkerama bersama sehingga kita mengenal lagu jawa lir-lir kita kenal permainan gobag sodor yang berlatar belakang permainan di halaman rumah yang lapang di bawah sinar rembulan. Berbeda dengan orang tua jaman sekarang, betapa banyak mereka yang bahagia ketika melihat anaknya kaya raya atau menduduki posisi strategis kendati tidak bisa membersamai mereka.
Sungguh sekarang kita hidup di jaman dimana kekayaan, pangkat dan jabatan menjadi standard kebahagiaan. Kita hidup di jaman dimana kemiskinan menjadi standar penderitaan. Berapa banyak orang yang rela membunuh, melukai, merusak kehormatan orang lain hanya untuk menjadi kaya, terpandang dan berkedudukan. Bahkan di era yang disebut era milenial ini kita melihat bagaimana orang merasa bahagia asalkan bebas melakukan apa yang diinginkan tanpa perlu memperhatikan orang lain, sehingga muncul tempat-tempat maksiat.
Lalu keadaan seperti apakah yang kita damba? Apakah kita hidup di dunia ini ingin menjadi orang kaya, terpandang, berkedudukan dan bebas melakukan apapun yang kita suka? Atau kita ingin hidup miskin, diremehkan dan terkekang dengan aturan?
Marilah kita lihat hadits Nabi berikut
Dari Harits bin Wahb radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia berkata,
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ ، أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ
“Maukah kuberitahu pada kalian siapakah ahli surga itu? Mereka itu adalah setiap orang yang lemah dan dianggap lemah oleh para manusia, tetapi jika ia bersumpah atas nama Allah, pastilah Allah mengabulkan apa yang disumpahkannya. Maukah kuberitahu pada kalian siapakah ahli neraka itu? Mereka itu adalah setiap orang yang keras, kikir dan gemar mengumpulkan harta lagi sombong” (HR. Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853).
Orang yang lemah yang dimaksud adalah orang yang diremehkan orang lain karena keadaan yang lemah di dunia (alias: miskin). Ini cara baca mutadho’af dalam hadits. Bisa juga dibaca mutadho’if yang artinya orang yang rendah diri dan tawadhu’. Al Qadhi menyatakan bahwa yang dimaksud orang yang lemah adalah orang yang lembut hatinya dan tawadhu’. Lihat Syarh Shahih Muslim, 17: 168.
Secara jelas bagaimana kita bisa melihat bahwa sekaya atau setinggi apapun kedudukan seseorang tidak bernilai dihadapan Allah ketika kesombongan menghiasi jiwanya. Kekayaan dan kedudukan yang dimilikinya tidak menambah derajatnya sedikitpun. Bukankah Fir’aun mati dalam keadaan hina kendati menguasai mesir, bukankah Abu Lahab dihinakan oleh Allah langsung melalui surat Al Lahab kendati ia berwajah tampan bahkan paman Rasulullah.
Dari hadits di atas kita juga memahami bagaimana kemiskinan bisa mengangkat derajat seseorang karena keimanan. Kebanyakan sahabat Rasululullah di awal penyebaran Islam di Mekah adalah orang-orang miskin demikian juga ketika di Madinah. Akan tetapi betapa Allah memuliakan mereka dengan janji-janji yang Allah berikan melalui Rasulullah.Bilal bin Rabah seorang bekas budak yang telah dimerdekakan oleh Abu Bakar menjadi mulia karena Iman. Beliau dijuluki muadzin Rasulullah dan dikenang sepanjang masa. Padahal beliau bukanlah dari suku Quraisy dan bukan pula orang yang kaya.
Banyak sekali keutamaan orang-orang miskin yang beriman kendati diremehkan manusia, antara lain;
- Masuk surga lebih dulu daripada orang beriman yang kaya
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُؤْمِنِينَ الْجَنَّةَ قَبْلَ الأَغْنِيَاءِ بِنِصْفِ يَوْمٍ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ
“Orang beriman yang miskin akan masuk surga sebelum orang-orang kaya yaitu lebih dulu setengah hari yang sama dengan 500 tahun.” (HR. Ibnu Majah no. 4122 dan Tirmidzi no. 2353. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Hisab yang paling lama di hari kiamat kelak adalah permasalahan harta, karena harta tidak hanya akan ditanya untuk apa dihabiskan akan tetapi juga darimana didapatkan. Berbeda dengan pertanyaan tentang umur yang hanya untuk apa digunakan. Semakin banyak harta yang dimiliki semakin banyak pertanyaan yang harus dijawab.
- Sebab turunnya pertolongan
- هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ
“Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian” (HR. Bukhari no. 2896)
3. Penghuni surga paling banyak adalah orang miskin
Dari Ibn Abbas dan Imran Ibn Hushain ra. dari Nabi saw., bersabda:
Aku melihat ke dalam surga, dan aku melihat bahwa sebagian besar penghuninya adalah kaum fakir, dan aku telah melihat ke dalam neraka, dan aku melihat bahwa sebagian besar penghuninya adalah para wanita.
(Muttafaq ‘alaih dari riwayat Ibn Abbas)
Sesungguhnya orang miskin memiliki banyak kemuliaan dengan iman di dada, akan tetapi jika kemiskinannya tidak disertai iman maka itu adalah penderitaan yang bertumpuk-tumpuk.
Demikian juga dengan seseorang yang diuji dengan harta yang melimpah, seandainya ia bisa mendapatkan harta yang banyak secara halal dan menggunakannya sebagaimana Utsman bin Affan atau Abdurrahman bin Auf tentu ia akan beruntung. Sayangnya kebanyakan manusia ketika diberi kekayaan bersikap seperti Qarun menjadi sombong, ketika diberi kekuasaan bukan seperti nabi Sulaiman tapi menjadi seperti Fir’aun.
Lalu mana yang kita pilih? Kaya atau miskin? Kaya bersyukur atau miskin bersabar?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Manusia berbeda pendapat, mana yang lebih utama: orang fakir (miskin) yang sabar atau orang kaya yang bersyukur? Pendapat yang benar adalah: orang yang lebih utama dari keduanya adalah yang paling bertakwa. Jika ketakwaan keduanya sama, derajat keduanya sama, sebagaimana hal ini telah kami jelaskan di tempat yang lain. Sesungguhnya orang-orang fakir (miskin) akan mendahului orang-orang kaya menuju surga. Karena tidak ada hisab (penghitungan harta) terhadap orang-orang fakir, sedangkan orang-orang kaya akan ada hisab (penghitungan harta). Maka orang kaya yang kebaikannya lebih banyak dari kebaikan orang miskin, derajatnya di surga lebih tinggi, walaupun lebih lambat masuk surga dari orang miskin. Sedangkan orang kaya yang kebaikannya di bawah kebaikan orang miskin, derajatnya di surga lebih rendah dari orang miskin”.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepadaku, beliau memerintahkan, “Ambillah pakaianmu dan senjatamu, lalu menghadaplah kepadaku!” Aku pun mendatangi beliau ketika beliau sedang berwudhu’. Beliau melihat-lihat kepadaku, kemudian bersabda, “Aku akan mengutusmu memimpin satu pasukan, semoga Allâh akan menyelamatkanmu dan memberimu harta rampasan perang. Aku berharap engkau menyukai harta dengan kesukaan yang baik”. ‘Amr bin al-Ash mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, aku tidak masuk Islam karena harta. Tetapi aku masuk Islam karena mencintai Islam dan agar aku bersama Rasûlullâh “. Maka beliau bersabda, “Hai Amr, sebaik-baik harta yang baik adalah untuk orang yang shalih”.
bagaimanapun keadaan kita kaya atau miskin, terpandang atau awam, berkedudukan atau biasa saja selama harta-pangkat- kedudukan membuat kita semakin dekat kepada Allah maka pada hakikatnya kita berada dalam keadaan yang terbaik. Allahu a’lam bishowab.
Leave a Review