Telah berlalu hari raya Idul Adha, Alhamdulillah kaum muslimin bisa melaksanakan Penyembelihan Qurban sebagaimana Perintah Allah .
Kendati sudah berlalu akan tetapi hikmah Qurban harus menjadi semangat tersendiri bagi kaum muslimin yang tetap dibawa selama masih hidup. Pengorbanan Nabi Ibrahim sungguh luar biasa dan kepatuhan Beliau akan perintah Allah tidak ada tandingannya. Dari seluruh manusia sejak Nabi Adam hingga hari kiamat kelak, hanya beliau dan Rasulullah Muhammad yang mendapat gelar Khalilullah atau kekasih Allah. Bahkan Nabi Ibrahim memiliki gelar yang istimewa yaitu Abul Anbiya atau bapak para Nabi.
Termasuk salah satu kesombongan bani Israil adalah mereka merasa bangga karena menjadi keturunan Nabi Ibrahim hingga mereka lancang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang Yahudi. Padahal telah diketahui bersama bahwa sebutan Yahudi diambil dari anak tertua Nabi Ya’kub, sedangkan Nabi Ya’kub sendiri adalah keturunan Nabi Ishaq putra Nabi Ibrahim. Oleh karena itu orang Yahudi sangat membenci Rasulullah Muhammad karena Allah mengangkat beliau menjadi Nabi terakhir sedangkan beliau bukan orang Yahudi melainkan orang arab keturunan Nabi Ismail putra Nabi Ibrahim.
Banyak ujian yang Allah berikan kepada Nabi Ibrahim. Akan tetapi seberat apapun dengan pertolongan Allah Nabi Ibrahim mampu melewatinya, dan salah satu ujian terberat adalah perintah menyembelih putranya yaitu Ismail. Sebagaimana firman Allah,
“Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami memanggilnya: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. Ash-Shaaffaat: 99-111)
Ibnu Taimiyah berkata, “Maksud dari perintah menyembelih di sini adalah Allah memerintah kekasihnya (khalilullah) untuk menyembelih putranya di mana perintah ini amatlah berat. Itulah ujian bagi Ibrahim untuk membuktikan kalau ia murni mencintai Allah dan menjadikan ia khalilullah atau kekasih Allah seutuhnya. Itulah tanda kecintaan yang sempurna pada Allah.” (Ar-Radd ‘ala Al-Mantiqin, hlm. 517-518)
Dan sungguh ketika Nabi Ibrahim mematuhi Allah, maka pertolongan Allah pun datang.
Ibnu Katsir mengambil pelajaran dari kisah Ibrahim ini dengan mengatakan, “Itulah balasan bagi orang yang mentaati kami ketika berada dalam kesulitan dan kesempitan, maka dijadikan dalam urusan mereka jalan keluar. Dalilnya adalah firman Allah,
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Beratnya Nabi Ibrahim menjalankan perintah Allah untuk menyembelih Nabi Ismail bukanlah tanda bahwa Nabi Ibrahim tidak Ikhlas akan tetapi itu menunjukkan beratnya ujian yang Allah berikan kepada beliau. Kesediaan Nabi Ibrahim untuk tetap melaksanakan perintah Allah tersebut justru menggambarkan besarnya keikhlasan Nabi Ibrahim dan betapa sempurnanya cinta beliau kepada Allah.
Inilah pelajaran penting bagi kita semua bahwa beratnya seseorang dalam menjalankan perintah Allah bukanlah tanda ketidak ikhlasnya dia dalam beramal melainkan tanda bahwa Allah sedang mengujinya”. Ketika seseorang tetap beramal maka sejatinya keikhlasan mengharap ridha Allah semata lah yang ada di hatinya.
Bahkan bukan amal kita yang akan memasukkan kita ke dalam surga, bukan pula yang menyelamatkan kita dari neraka. Akan tetapi keridhaan Allah atas amal kitalah yang menyebabkan kita berhak masuk ke dalam surga dan selamat dari neraka.
Dalam hadis Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu disebutkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
“Tidak ada amalan seorangpun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelematkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah” (HR. Muslim no. 2817).
Sementara dalam beberapa ayat diterangkan bahwa amalan adalah sebab seorang masuk surga. Seperti ayat berikut,
“Itulah surga yang dikaruniakan untuk kalian, disebabkan amal sholeh kalian dahulu di dunia” (QS. Az-Zukhruf : 72).
“Bidadari-bidadari surga berkulit putih bersih dan bermata indah. Bidadari -bidadari itu putih bersih bagaikan mutiara-mutiara yang bejejer rapi. Semua itu sebagai balasan bagi orang-orang mukmin atas amal sholih yang mereka kerjakan di dunia” (QS. Al-Waaqi’ah: 22-24).
Dua jenis dalil di atas tampak bertentangan ini, akan tetapi sebenarnya tidak sama sekali. Maksud dari huruf “ba” pada ayat ini adalah ba sababiyah (sebab). Adapun penafian sebab masuk surga karena amal pada hadis, bermakna dalam perkara balasan yang setimpal (‘iwadhiyyah).
Maksudnya adalah seorang tidak bisa membayar surga Allah dengan amal perbuatannya. Karena amalannya penuh dengan cacat, sementara surga Allah terlalu sempurna untuk menjadi balasannya. Hanya dengan rahmat Allah saja seorang bisa tinggal di surgaNya. (Semoga kita termasuk penghuni surgaNya).
Syaikh Ibnu ‘Utsamin menjelaskan,
“Bagaimana menggabungkan antara ayat dan hadis ini (yakni hadis Jabir di atas, pent)? Jawabannya, kedua dalil di atas bisa dikompromikan, di mana peniadaan masuknya manusia ke dalam surga karena amalnya dalam arti balasan, sedangkan isyarat bahwa amal sebagai kunci masuk surga dalam arti bahwa amal itu adalah sebab, bukan pengganti” (Syarah Riyadhus Sholihin, 1/575).
Ini isyarat bahwa tidak benar bila kemudian seorang berpangku tangan merasa cukup bergantung dengan rahmat Allah, lalu meninggalkan amal sholih karena menganggapnya tidak penting. Karena Allah menetapkan segala sesuatu dengan sebab dan akibat. Dalam hal ini, Allah ‘azzawajalla menjadikan sebab mendapatkan rahmatNya; yang menjadi sebab meraih surga, dengan amal shalih.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Baqarah: 218).
Amal Shalih Sebab Meraih Tingkatan Tinggi di Surga
Suatu hari Rabi’ah bin Ka’ab al Aslami (Abu Firos) berkisah, “Aku bermalam bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kemudian aku mengambilkan air wudhu’ untuk beliau, serta hajat beliau (maksudnya pakaian dan lain-lain).
Kemudian Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadaku,
“Mintalah sesuatu kepadaku.”
“Aku meminta untuk bisa bersamamu di dalam surga.” Pintaku.
Nabi bersabda lagi, “Apakah ada selain itu?”
“Hanya Itu permintaanku.” Jawabku.
Beliau lalu bersabda,
“Kalau begitu tolonglah aku untuk memperkenankan permintaanmu itu dengan memperbanyak sujud” (HR. Muslim).
Dalam hadis lain diterangkan, dari Abu Said al Khudri radhiyallahu’anhu. Beliau mendengar Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya penghuni surga yang menempati derajat yang paling tinggi, akan melihat orang-orang yang berada di bawah mereka, seperti kalian melihat bintang yang terbit di ufuk langit. Dan sngguh Abu Bakr dan ‘Umar, termasuk dari mereka dan yang paling baik” (HR. Tirmidzi).
Hadis di atas menunjukkan bahwa surga memiliki tingkatan-tingkatan, yang dapat diraih dengan amal sholih, setelah masuknya didapat karena rahmat Allah.
Imam al Qurtubi rahimahullah menerangkan,
“Ketahuilah bahwa kamar di surga berbeda-beda dalam hal derajat ketinggian dan sifatnya, sesuai perbedaan penghuninya dalam amal perbuatan. Maka satu dari mereka lebih tinggi derajatnya dari yang lain” (at Tadzkiroh fi Ahwal al Mauta wa Umur al Akhiroh, hal. 398).
Diantara tafsiran para ulama dalam mengkompromikan ayat dan hadis yang tampak bertentangan di atas, bahwa ayat yang menerangkan amalan sebagai kunci masuk surga, diartikan sebagai sebab untuk meraih derajat di dalam surga. Adapun hadis tentang masuk surga karena rahmat Allah, dipahami bahwa rahmat Allah sebagai sebab masuk surgaNya.
Ibnu Hajar rahimahullah menuliskan dalam Fathul Bari,
Ibnu Batthol menjelaskan saat menggabungkan hadis ini (yakni hadis Aisyah yang semakna dengan hadis Jabir di atas, pent), dengan firman Allah ta’ala,
“Itulah surga yang dikaruniakan untuk kalian, disebabkan amal sholeh kalian dahulu di dunia” (QS. Az-Zukhruf : 72)
Ayat ini dimaknai bahwa tingkatan di dalam surga diraih dengan amalan. Karena derajat di surga berbeda-beda, sesuai perbedaan tingkatan amal. Adapun hadis dimaknai, sebab masuk surga atau sebab mendapatkan keabadian di dalamnya (hanya dengan rahmat Allah)” (Fathul Bari, 11/295).
Allah Maha Adil. Tentu tak akan menyamakan antara orang yang giat beramal, istiqomah, tinggi ketakwaan keikhlasan serta imannya, dengan mereka yang biasa-biasa saja kualitas iman dan takwanya. Seperti kata pepatah, Aljaza’ min jinsil ‘amal, balasan sesuai dengan amal perbuatan.
Semoga saat ujian atau perintah Allah terasa sangat berat untuk dilalui atau dilaksanakan semoga di saat itu pula Allah mengaruniakan rahmat Nya kepada kita sehingga kita menjadi hamba yang layak masuk ke dalam surga Nya. Aamiin.
Leave a Review